XPOSE TV Rokan Hilir Pemberitaan terkait pernyataan Direktur Utama BUMD PT SPRH Perseroda, Rahman SE, yang mengklaim keberhasilan dalam menyetor deviden sebesar Rp 293 miliar ke Pemkab Rokan Hilir (Rohil) menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari Arjuna Sitepu, Kepala Divisi Pengawasan dan Pencegahan Yayasan Dewan Perwakilan Pusat Komisi Pengawasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi (DPP KPK TIPIKOR). turut angkat bicara dan menyatakan akan segera melayangkan permohonan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) kepada PPID Pelaksana PT SPRH Perseroda. Jika diperlukan, permohonan juga akan diajukan kepada PPID Utama, dalam hal ini Sekretaris Daerah Kabupaten Rokan Hilir. Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya transparansi dan akuntabilitas, sesuai amanat Peraturan Komisi Informasi Publik (PERKI) No. 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik. https://xposetv.live/redaksi/
Sampaikannya dalam press release tertulisnya kepada media ini, Sabtu (22/03/2025).
Kritik ini tidak hanya menyoroti klaim kinerja Rahman SE, tetapi juga menyinggung masalah transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola keuangan BUMD tersebut. Berikut adalah analisis kritis terhadap pemberitaan tersebut, dilengkapi dengan tinjauan peraturan perundang-undangan dan sanksi pidana yang mungkin berlaku.
1. Klaim Deviden dan Transparansi Keuangan.
Rahman SE menyatakan bahwa BUMD PT SPRH Perseroda berhasil menyetor deviden sebesar Rp 293 miliar ke Pemkab Rohil. Namun, klaim ini dipertanyakan oleh Tiswarni, Kepala Bagian Ekonomi Pemkab Rohil, yang menyebutkan bahwa deviden tersebut sebenarnya berasal dari dana Participating Interest (PI) sebesar Rp 488 miliar, bukan dari hasil bisnis operasional perusahaan. Artinya, deviden yang disetor bukanlah hasil dari kinerja bisnis yang baik, melainkan hanya aliran dana dari PI yang dititipkan ke PT SPRH.
Kritik:
– Klaim Rahman SE dinilai menyesatkan karena menciptakan narasi seolah-olah deviden tersebut adalah hasil dari kinerja bisnis yang brilian, padahal faktanya berasal dari dana PI.
– Tidak adanya transparansi dalam penggunaan sisa dana PI sebesar Rp 109 miliar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang pengelolaan keuangan BUMD tersebut.
Tinjauan Hukum:
– Permendagri No. 118 Tahun 2018 tentang Rencana Bisnis, Rencana Kerja, dan Anggaran BUMD mewajibkan direksi untuk menyampaikan laporan bulanan, triwulanan, dan tahunan kepada pemegang saham (dalam hal ini Pemkab Rohil). Namun, hingga saat ini, laporan keuangan dan kinerja PT SPRH belum disampaikan, yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan ini.
– UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur bahwa setiap penggunaan dana publik harus dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ketidakjelasan penggunaan dana PI dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip tersebut.
Sanksi Pidana:
– Jika terbukti ada penyalahgunaan dana atau penggelapan, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan **Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sanksinya berupa penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
2. Pelanggaran Tata Kelola Perusahaan.
Tiswarni juga menyoroti pelanggaran tata kelola perusahaan oleh direksi PT SPRH, khususnya dalam hal penyetoran deviden sebelum dilakukan audit dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Menurutnya, penyetoran deviden sebesar Rp 38 miliar di awal tahun 2025 dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, yaitu tanpa audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dan tanpa persetujuan RUPS.
Kritik:
– Pelanggaran prosedur ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
– Penggunaan anggaran tanpa dasar hukum yang jelas dapat menimbulkan kerugian keuangan negara dan merusak kepercayaan publik terhadap BUMD.
Tinjauan Hukum:
– PP No. 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah mengatur bahwa setiap keputusan strategis, termasuk penyetoran deviden, harus melalui mekanisme RUPS dan audit independen.
– UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga mewajibkan direksi untuk mematuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik, termasuk transparansi dan akuntabilitas.
Sanksi Pidana:
– Pelanggaran terhadap tata kelola perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif, seperti pemberhentian dari jabatan direksi. Jika terbukti ada unsur kesengajaan untuk merugikan keuangan negara, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana korupsi.
3. Sikap Arogan dan Etika Kepemimpinan
Sikap Rahman SE yang dinilai arogan oleh Tiswarni dan Asisten II Bidang Perekonomian Pemkab Rohil, M. Nur Hidayat, juga menjadi sorotan. Rahman SE dianggap tidak menghormati pemegang saham (Pemkab Rohil) dan tidak menjalankan kewajibannya untuk melaporkan kinerja perusahaan secara berkala.
Kritik:
– Sikap arogan dan tidak patuh terhadap atasan (pemegang saham) menunjukkan kurangnya etika kepemimpinan dan profesionalisme.
– Ketidakhadiran Rahman SE dalam melaporkan kinerja perusahaan kepada pemegang saham menimbulkan kesan bahwa ada upaya untuk menutupi ketidakberhasilan dalam mengelola BUMD.
Tinjauan Hukum:
– Kode Etik Kepemimpinan dalam Permendagri No. 100 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi BUMD mewajibkan direksi untuk menjaga etika dan profesionalisme dalam menjalankan tugas.
– UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara juga mengatur tentang kewajiban untuk menjaga integritas dan etika dalam pelayanan publik.
Sanksi: