BARRU, SULSEL – Tangis haru pecah di Pengadilan Negeri (PN) Barru, Sulawesi Selatan, Selasa (6/5/2025), saat seorang ibu bernama Ernita menghadiri sidang kasus dugaan pencabulan terhadap anaknya, AA, seorang remaja putri penyandang disabilitas ganda yang ternyata di tunda.
AA diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang pria lanjut usia berinisial AM (71). Ernita, dalam keterbatasan ekonomi keluarganya, terus memperjuangkan keadilan bagi putrinya.

Namun, ia mengaku kecewa dengan jalannya persidangan yang dinilai tidak berpihak pada korban. “Sidangnya sangat janggal. Hakim dan jaksa justru seolah mencari-cari kesalahan saya yang tidak ada kaitannya dengan kasus ini,” ungkap Ernita kepada wartawan dengan suara terbata-bata.
Ernita juga menyebutkan bahwa majelis hakim sempat menawarkan restitusi atau ganti rugi kepada keluarganya. Namun baginya, keadilan jauh lebih penting dari sekadar uang. “Kami tidak mencari ganti rugi. Kami hanya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya atas perbuatannya terhadap anak saya yang disabilitas,” tegasnya sambil menahan tangis.
Berdasarkan hasil asesmen psikiater, korban memiliki tingkat kematangan mental setara anak berusia 1 hingga 2 tahun, meskipun secara biologis telah berumur 19 tahun. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap korban dilakukan secara khusus dan sensitif.
Restitusi yang ditawarkan dalam persidangan merupakan bentuk kompensasi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban. Namun, pertanyaannya, apakah hal itu cukup untuk menggantikan penderitaan korban?