XPOSE TV//Mataram, NTB – Smelter Batu Hijau tuai sorotan, keberadaan tambang raksasa Batu Hijau yang dahulu dikenal dengan nama PT Newmont Nusa Tenggara dan kini dioperasikan oleh PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) kembali menyita perhatian publik. Sejak resmi beroperasi di bawah manajemen baru pada tahun 2017, perusahaan ini digadang-gadang menjadi pionir hilirisasi mineral di Indonesia melalui pembangunan smelter atau pabrik pemurnian konsentrat di kawasan Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, kenyataan di lapangan kini justru menimbulkan tanda tanya besar. Minggu, (12/10/ 2025).
Pembangunan smelter yang semestinya menjadi tonggak kemandirian industri tambang nasional justru menuai sorotan. Pasalnya, PT Amman Mineral masih melakukan ekspor konsentrat dengan dalih kelebihan kapasitas gudang (overload) dan penumpukan stok di stockpile. Kondisi ini memunculkan dugaan publik: apakah smelter tersebut dibangun hanya untuk memenuhi syarat administratif agar izin pertambangan tetap berjalan, atau benar-benar untuk mendukung amanat hilirisasi sebagaimana diatur dalam kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang telah diperbarui menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap perusahaan tambang wajib membangun smelter guna menambah nilai hasil tambang, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat kedaulatan sumber daya alam Indonesia. Pemerintah bahkan telah memberikan berbagai insentif fiskal dan kemudahan perizinan bagi perusahaan yang serius menjalankan program hilirisasi.
Ironisnya, meski smelter Batu Hijau diklaim telah beroperasi sebagian, aktivitas ekspor konsentrat masih berlangsung. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi di kalangan pemerhati lingkungan, akademisi, hingga mantan pekerja tambang.
Salah satu suara kritis datang dari Agus Sofyan Ghossy, mantan kuli tambang Batu Hijau, yang menilai perusahaan seharusnya melakukan evaluasi total terhadap kapasitas dan perencanaan produksi.
“Perusahaan harus mengkaji ulang pabrik pemurnian itu. Jangan hanya sekadar membangun smelter untuk memenuhi syarat izin tambang. Smelter harus mampu menampung seluruh hasil produksi, agar tak ada lagi alasan overcapacity dan ekspor konsentrat,” tegas Agus.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dan komitmen nyata agar investasi besar yang masuk ke daerah benar-benar memberikan manfaat langsung bagi masyarakat setempat, termasuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pemberdayaan tenaga kerja lokal.
Publik kini menunggu langkah tegas pemerintah dalam melakukan audit menyeluruh terhadap operasional smelter PT Amman Mineral. Sebab, jika alasan “overload” terus menjadi pembenaran, hal ini dikhawatirkan akan mencederai semangat hilirisasi yang selama ini digaungkan Presiden Joko Widodo sebagai strategi besar menuju kedaulatan sumber daya alam Indonesia.
Apakah Batu Hijau benar-benar menuju hilirisasi berdaulat, atau sekadar “hiasan izin” untuk melanjutkan ekspor terselubung?
Publik menanti jawabannya.
Red: H A.
Reporter: Tim XPOSE TV NTB





































