KENANGAN MENEMANI PENYAIR, SEBELAS TAHUN LALU
XPOSE TV. LOMBOK TIMUR – NTB, Selaku wakil sekjen PBNW, sekitar sebelas tahun lalu, bersama teman-teman penyair dari Taman Ismail Marzuki Jakarta, Taman Budaya Mataram, Teater Bening Lombok Timur kami menyelenggarakan suatu event yang tergolong baru, belum pernah dilakukan sebelumnya, kegiatan yang bertema “ Road Show Baca Puisi 14 Hari”. Kegiatan ini digelar setiap malam mulai tanggal 16 Maret-29 Maret 2011 di 14 pondok pesantren se pulau Lombok.
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan edukasi kepada Guru bahasa daan sastra dan santri pondok pesantren tentang apresiasi karya sastra yaitu puisi serta mempersiapkan generasi muda NTB yang akan mengisi peradaban budaya dan sastra islami seiring dengan dibangunnya Islamic Center sebagai pusat peradaban Islam di Nusa Tenggara Barat. Juga, sebagai respon PB NW atas telah di canangkan Tahun 2011 sebagai TAHUN SASTRA” oleh Gubernur NTB saat itu, Dr. TGH.M. Zainul Majdi, MA.
Ada 14 Pondok Pesantren se Pulau Lombok yang memiliki santri di atas 1000 orang sebagai tempat pelaksanaan pentas seni baca puisi ini, yakni: Kab. Lombok Timur : Ponpes Darunnahdlatain NW Pancor (16/3),Ponpes Tarbiyatul Islam NW Wanasaba (17/3), Ponpes Birrul Walidain NW Rensing (18/3), Ponpes Nurul Islam NW Perian Montong Gading (19/3), Ponpes Darul Mujahidin NW Pringgasela (20/3), Ponpes Azzuhriyah NW Tanjung (21/3), Kab. Lombok Tengah : Ponpes Nurul Mahmuda NW Montong Gamang (22/3), Ponpes NW Pringgarata (23/3), Ponpes NW Aik Mual (24/3), Kab. Lombok Barat : Ponpes Nurul Haramain NW Narmada (25/3), Ponpes Hikmatussyarif NW Salut Selat Narmada (26/3), Ponpes Selaparang NW Kediri (27/3) dan Kab. Lombok Utara : Ponpes Hidayaturrahman NW Menggala (28/3) dan ponpes Riyaduljannah NW Penjor (29/3).
Lintas Event Organizer yang dikomandani oleh Lalu Rajabul Akbar, sekarang kades Dasan Lekong, bertindak sebagai pelaksana.
Sebagai pengisi acara dalam kegiatan ini adalah seniman-seniman dari Taman Budaya Mataram, Taman Ismail Marzuki Jakarta dan sanggar Bening Lombok Timur. Dari Taman Budaya Mataram diwakili mas Winsa Prayitna, sedangkan dari Taman Ismail Marzuki Jakarta diwakili oleh Mas Bambang Sugianto, suami penyair Lintang Sugianto. Dari sanggar bening Alex, Memet, dan saya sebagai pangantar para penyair.
Alhamdulillah target kegiatan ini bisa ditonton oleh minimal 14 ribu santri bisa tercapai. Mudah-mudahan banyak di antara para santri yang menonton bisa mencintai karya sastra seperti puisi yang sudah mulai redup oleh budaya dan tontonan modern saat ini.
Salah satu puisi yang sangat menarik adalah karya Lintang Sugianto yang mengisahkan dialog seorang anak kecil dengan Malaikat pencabut nyawa pada musibah Tsunami di Aceh.
Tuan Malaikat, ini Putri
Karya: Lintang Sugianto
Hari ini malaikat pencabut nyawa benar-benar sibuk
Seluruh catatan dan daftar telah ia hafal dengan sempurna
Sabitnya menebas-nebas dan ia tampak sempoyongan
Dalam tiga puluh menit semua tugas harus tuntas, ini perintah!
Ia mendengar amat takzim perintah itu
Maka ia tak berbelas
Maka ia menuntaskan
Maka ia menyabit segala
Dan sebuah kota telah menjadi sayu
Lempengan bumi dasar laut menggeliat
Ombak yang terlalu lama tak memuliki bahasa itupun bersatu dengan lumpur, memuncrat, mencoba dengan caranya untuk mengeluarkan segenap isi hatinya
Ia sedang berbicara
Ia sedang meraung
Ujung pulau negeri itu telah tersapu oleh gerlombang lautnya sendiri.
Kemegahan kota itupun menjadi masa lalu yang jauh
Hari ini pula seorang gadis kecil bermata merah dadu dengan tangan kanannya yang nyaris buntung, ia berusaha merangkak mendekati seorang janda setengah baya yang tubuhnya telah rusak.
Keduanya akibat tertindih terumbu karang yang dimuntahkan samudera
“Umi! Umi…, ini Putri! Mengapa kau tak bergerak?”
Belum genap ia menyapu air mata, ia menangkap bayangan berkelebat yang menyabit cepat di atas ubun-ubun perempuan itu
“Tuan…tuan, kau siapa?”
Dengan suara tetapi bukan suara, bayangan itupun menjawab,
“Aku malaikat, kau melihat rahasiaku?”
“Ya, Tuan! Tuan Malalaikat, ini Putri! Mengapa Umi tak bergerak?”
Malaikat tak menyahut, rupanya ia benar-benar sendang sibuk menyabit
Ribuan manusia menjerit
Mayat-mayat bergelimpangan
Ombak kian berteriak meninggi sepuluh meter
Segenap paru-paru tersedak lumpur
Segenap bangunan roboh
Segenapnya hanyut dan rata
Kota ini tak lagi tahu siapa si kaya dan siapakah yang tak kaya
Segenapnya menjadi serupa
Dan segenapnya berwajah sama
” Tuan, Tuan Malaikat…, tunggu…!”
Tetapi malaikat tetap sibuk, ia memang sedang memperhitungkan waktu
Ia tak ingin mendengar
Ia tak ingin lelap
Ia tak ingin lupa
Hingga ternak, hingga serangga, hingga rumput, dan pohon sekalipun, semuanya sesuai daftar, semuanya tak terlewatkan, dan semuanya dengan dingin ia tuntaskan
“Tuan Malaikat, tunggu! Mengapa Umiku tak bergerak?”
“Aku sedang melangsungkan tugas, manusia kecil”
“Berhentilah sejenak, Tuan! Lihatlah Umiku”
Ia menatap, kemudian suaranya yang bukan suara, terdengar berupa butiran-butiran lembut yang jatuh tetapi begitu bening
“Umimu pun bertugas, Putri…! Gempa itu tugas. Ombak itu tugas.
Gunung itu tugas dan lumpurpun bertugas”
“Kota ini?”
Malaikat pencabut nyawa itu, tiba-tiba tak bergeming
Layaknya sedang menimbang ia lama terdiam
Kedua matanya yang perak, tajam menatap lengan Putri yang terus mengucurkan darah.
“Tuan, kota ini apa bertugas?”
“Manusia kecil, banyak tugas yang menjadi rahasia, sebuah rahasia yang kita tak boleh mengetahuinya, namun kita harus melaksanakannya. Sebentar lagi segera datang virus dan bakteri yang bertugas, lalat-lalat yang bertugas, dan belatung pun bertugas”
“Kumohon jawablah tentang kota ini, Tuan Malaikat?”
“Baiklah, manusia kecil, kota inipun bertugas”
“Kota ini Aceh, tuan. Mengapa selalu Aceh yang bertugas?”
“Dengar manusia kecil, tak banyak manusia berani bertugas untuk memilih Allah atau hidup di dunia. Tak banyak pula manusia memiliki tugas mencintai hasratnya sendiri untuk ke rumah Allah di atas cintanya kepada dunia. Dan kotamu ini memang sepetak taman bagimu, tetapi Aceh telah dibantu memilih bertugas”
“Tugas lagi?”
“Ya, tugas untuk membentuk barisan!”
“Barisan? Barisan apa, Tuan?”
Tetapi Malaikat segera membaca daftar dan dengan amat gesit ia menyabit kembali. Yang terjadi ialah jalan-jalan trotoar itu, masjid-masjid itu, lapangan itu, kota itu telah penuh anak-anak, penuh orang tua, penuh lelaki, penuh perempuan, semua penuh mayat
“Cukup! Cukup Tuan! Kumohon hentikan, hentikan, tuan!”
“Hey, waktuku hampir habis, sedangkan barusan belum terbentuk”
“Katakan padaku, barisan apa?”
“Barisan menuju rumah Allah, manusia kecil”
“Rumah Allah?”
“Yaa…”
“Apakah Umiku juga dalam barisan itu?”
“Tentu, manusia kecil”
Putri menelan ludah, ia tak lagi meringis kesakitan, ia justru menatap kembali seorang perempuan setengah baya yang terbujur kaku dan diam itu. Tetapi kedua matanya telah berubah serupa purnama yang merajai bulan.
“Umi, Umi ini Putri! Kata Tuan Malaikat, Umi akan berada dalam barisan itu! Kau terpilih Umi. Kau terpilih!”
Kemudian gadis kecil itu berteriak lantang.
“Tuan Malaikat! Tuan Malaikat, ini Putri! Aku keturunan
Cut Nyak! Akulah Aceh itu! Lihatlah dalam daftarmu, sabit aku…sabit aku…”
Hari ini, tepat tiga puluh menit untuk pertama kalinya malaikat itu tersenyum melihat sebuah nama pada daftar terakhir.
Ia menatap langit-langit, seorang anak kecil sedang berderap-derap memimpin barisan yang amat panjang. (KENANGAN MENEMANI PENYAIR, SEBELAS TAHUN LALU)
Narsum : Dr. Fauzan, M.Pd
Red : H A
🇮🇩 CATATAN REDAKSI: 🇮🇩
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita dan atau konten video tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi dan/atau hak jawab kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.👍
Artikel/berita yang dimaksud dapat dikirimkan melalui email redaksi: xposetv0@gmail.com. Terima kasih.👍👍👍