Diduga Ada Pelanggaran HAM by Omission

  • Whatsapp

Klarifikasi Negeri Pelauw Maluku, Terkait Konflik dengan Kariu 26 Januari 2022: Diduga Ada Pelanggaran HAM by Omission

XPOSE TV. Ambon, Menyikapi konflik yang terjadi di Pulau HarukuHaruku, antara Negeri Pelauw/Ory dan Kariu, Tim Advokasi Masyarakat Negeri Pelauw/Ory mengeluarkan catatan klarifikatif, agar publik atau khalayak dapat melihat persoalan dengan proporsional dan objektif. Berikut salinan catatan klarifikasi yang diterima redaksi media ini:

Bacaan Lainnya

I. Pendahuluan

Pertama-tama dan paling utama, memulai catatan ini, kami menyampaikan rasa duka yang mendalam kepada semua korban, baik moril maupun materil, akibat peristiwa yang terjadi pada tanggal 26 Januari 2022 di Pulau Haruku.

Selanjutnya permohonan maaf kami sampaikan kepada semua pihak karena satu peristiwa yang terjadi diluar kendali, menyebabkan kesedihan, ketidaknyaman, bahkan kemarahan. Semua ini menjadi pelajaran penting bagi kita, dan semoga tak lagi terjadi, kapanpun dan dimanapun.

Baca juga

https://xposetv.live/tim-hukum-padi-akan-lakukan-gugatan-ke-ptun/

Atas konflik yang terjadi antara Negeri Pelauw/Ory dan Negeri Kariu, ratusan warga Kariu harus mengungsi karena sejumlah rumah/bangunan terbakar, sementara 3 (tiga) orang warga Negeri Pelauw meninggal dunia. Tercatat pula sejumlah orang terluka dari kedua pihak yang bertikai, maupun dari aparat keamanan.

Satu peristiwa yang tentu tidak diinginkan siapapun, karena memang secara empiris atau fakta sejarah membuktikan kepada kita, tak ada yang diuntungkan dari situ konflik. Kalah menjadi abu, menang pun hanya jadi arang, sama-sama tak ada artinya.

Tanpa bermaksud saling menyalahkan, atau mencari pembenaran, ijinkan kami dari Tim Advokasi Masyarakat Negeri Pelauw/Ory menyampaikan sejarah singkat dan sejumlah kronologis peristiwa serta fakta-fakta terkait hubungan relasi masyarakat Pelauw/Ory, termasuk konflik yang mengiringinya.

II. Sejarah Singkat Negeri Kariu

Syahdan Negeri-negeri adat yang memegang hukum adat di Pulau Haruku belum mengenal nama Kariu. Baik oleh Uli Hatuhaha (Pelauw, Kailolo, Kabauw, Rohomoni dan Hulaliu) di sisi utara, maupun di Uli Buang Besi (Aboru, Wassu, Amet, Oma dan Haruku) di sisi selatan Pulau Haruku.

Warga Kariu saat itu merupakan sekelompok kecil masyarakat yang berpindah-pindah atau nomaden, dan kemudian terakhir menempati wilayah antara Negeri Aboru dan Negeri Wassu, lokasi itu disebut Wasi (hutan) Kariu dengan jejak Wae (air) Kariu yang kita kenal hari ini.

Adapun Negeri Pelauw atau Matasiri adalah kota raja atau pusat pemerintahan Uli Hatuhaha yang berbatasan dengan semua negeri adat di Pulau Haruku. Tapi Pelauw tidak memiliki batas dengan Kariu, karena memang saat itu Negeri Kariu belum terbentuk atau belum ada, seperti yang kita kenal saat ini.

Baca juga

https://xposetv.live/prajurit-dan-pns-kodiklatal-gelar-apel-gabungan-akhir-bulan-januari-2022/

Pada masa Negeri Pelauw diperintah oleh Upu Latu Marawakan yang bermarga Latupono, masyarakatnya telah memeluk agama Islam dan bermukim di pesisir pantai, pemerintahan kolonial Belanda datang dan bercokol. Mereka kemudian mendirikan Benteng New Hoorn di sisi timur Negeri Pelauw pada tahun 1656 oleh Arnold De Vlaming.

Belanda kemudian menempatkan 20 serdadu yang dipimpin oleh seorang berpangkat Sersan. Keberadaan serdadu kolonial di Negeri Pelauw juga membawa kebiasaan mereka dalam mengkonsumsi binatang buruan, termasuk Babi Hutan yang kala itu masih banyak populasinya di Pulau Haruku.

Kerap kali prajurit dari Benteng New Hoorn, berburu bersama masyarakat Negeri Pelauw. Karena itu pula beberapa anak muda Negeri Pelauw diperintahkan untuk memikul hasil buruan dari hutan. Setelah selesai bertugas, sebagai muslim, pemuda Negeri Pelauw tersebut diwajibkan ber-istinja (membersihkan diri sesuai syariat Islam), di Wae Marike’e.

Melihat kejadian semacam itu, Raja Negeri Pelauw kemudian menyampaikan atau mengusulkan kepada pimpinan kolonial di benteng bahwa akan mencari warga lain untuk berburu bersama prajurit, menghindari warga Pelauw terlibat dalam aktivitas berburu, yang harus diakhiri dengan beristinja.

Aktivitas masyarakat Pelauw dalam berburu dengan prajurit kolonial rupanya diketahui oleh kelompok masyarakat yang tinggal di Wasi Kariu. Mereka kemudian menghadap Upu Latu Marawakan menawarkan diri untuk ikut berburu binatang bersama prajurit kolonial, apalagi mereka memang memiliki keterampilan da

Ibarat gayung bersambut, satu sisi Raja Pelauw Upu Latu Marawakan menginginkan warganya tidak ikut dalam aktivitas memikul hasil buruan, berupa Hewan Babi yang memang diharamkan oleh Muslim, sementara ada kelompok masyarakat lain yang tinggal di hutan menawarkan diri untuk menemani prajurit kolonial berburu.

Upu Latu Marawakan, Raja Pelauw kemudian memerintahkan utusannya menemui kelompok yang ada di Wasi Kariu, untuk dapat mewakili warga Pelauw dalam berburu bersama tentara kolonial. Tidak saja itu, untuk memudahkan, Upu Latu Marawakan juga memberikan tanah untuk ditempati kelompok dari Wasi Kariu ke satu wilayah di samping benteng New Hoorn.

Baca juga

https://xposetv.live/konser-akbar-dan-expo-umkm-se-kabupaten-lamongan/

Apalagi lokasi tanah dekat benteng New Hoorn punya mata air sendiri yang disebut Wae Maua yang dapat memudahkan warga baru itu beraktivitas dan tidak mengganggu masyarakat Pelauw dalam aktivitas, terutama mandi dan berwudhu, serta aktivitas lainnya yang selama itu dilakukan di Wae Marikee.

Kedatangan warga baru di tanah Negeri Pelauw sesuai kesepakatan dengan kolonial adalah untuk memudahkan koordinasi dan komunikasi. Maka dibentuk pula penugasan secara administratif oleh pemerintah kolonial kepada kelompok dari Wasi Kariu itu.

Kolonial Belanda kemudian menganugerahi gelar Pati untuk urusan pemerintahan warga Wasi Kariu itu dengan sebutan “Pattiradjawane”, artinya pati yang pertama sebagai pimpinan kelompok masyarakat Kariu. Berwenang memimpin kelompok masyarakatnya, dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintah Negeri Pelauw.

Selain urusan pemerintahan, kelompok Kariu juga ditunjuk salah satu dari mereka untuk mengurusi urusan ekonomi, diberi gelar”Pattiwaelapia”. Gelar ini diambil dari nama sungai yang oleh masyarakat Pelauw selalu dijadikan sebagai lokasi untuk mengolah sagu (Wae = Air, Lapia = Sagu).

Struktur pemerintahan yang dibentuk untuk mengatur komunitas masyarakat yang turun dari Wasi Kariu ini dengan tujuan utama membantu pihak kolonial, dengan tetap melaporkan aktivitasnya kepada Raja Negeri Pelauw. Karena secara keseluruhan raja selaku penguasa adat dan pemerintahan mengkoordinasikan sistem perdagangan rempah-rempah waktu itu.

Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, sekira pada tahun 1930-an, populasi warga Kariu pun semakin bertambah, sementara lokasi tinggal mereka tidak begitu luas. Apalagi karena melayani kolonial saat itu warga Kariu juga diberikan hak-hak istimewa, diantaranya diberikan kesempatan menjadi pengawal benteng sehingga dapat memegang senjata.

Suatu ketika pada tahun 1933, terjadi gesekan antara warga Kariu dan masyarakat Negeri Pelauw. Saat itu menjelang siang, warga Kariu berkumpul di depan Benteng New Hoorn (Kota uwei) dan warga Negeri Pelauw berkumpul depan Masjid dan Asari (Tauwamen uwai), ada warga Kariu yang melepaskan tembakan dari kota uwei dan mengenai salah satu warga Negeri Pelauw,

Kondisi kemudian berkembang tidak terkendali, turut pula mempengaruhi hubungan relasi kedua komunitas yang notabene tinggal dalam satu kawasan yang tidak berbatas itu. Untuk menghindari terus terjadi gesekan, dan atas persetujuan Raja Negeri Pelauw yang waktu dipimpin oleh Abdul Basir Latuconsina, warga Kariu yang sebelumnya bermukim tak jauh dari benteng New Hoorn dipindahkan ke tanah Negeri Pelauw yang ada di seberang Wae (Sungai) Marikeโ€™e, sehingga kedua komunitas ini berbatas dengan sungai.

Itulah yang kemudian menjadi lokasi Negeri Kariu sebagaimana kita kenal hingga saat ini. Yaitu diantara sungai Waemarike’e di sebelah barat dan kali mati atau Wae Ory Urui yang mengalir di samping Waeruku Matai. Itulah batas negeri yang diijinkan raja Negeri Pelauw, hanya sebatas itu, atas kesepakatan dengan pemerintah kolonial waktu itu.

Usai dipindahkan ke lokasi tinggal yang baru, masyarakat Kariu tetap melayani pemerintah kolonial, sementara secara internal di Negeri Pelauw terjadi dinamika ekonomi, politik, sosial dan budaya yang berujung pada gesekan masyarakat yang waktu itu terpolarisasi dalam dua kelompok.

Untuk menghindari benturan atau gesekan kedua kelompok, atas persetujuan pemerintah kolonial, dan Raja Negeri Pelauw, pada tahun 1939, salah satu kelompok dari warga Negeri Pelauw ditempatkan di lokasi yang namanya Ory, yang berada di seberang Wae Ory Urui berbatasan dengan Kariu di sisi barat.

Dengan demikian posisi Kariu ada di antara Pelauw dan Ory. Negeri Kariu bagian barat berbatasan dengan Pelauw, yang perbatasannya ditandai dengan aliran Wae Marikeโ€™e, sementara sisi timur berbatasan Ory yang ditandai dengan kali mati atau Wae Ory Urui. Adapun Ory tetap masuk wilayah Pelauw. Sampai sekarang Ory secara administratif merupakan Dusun, salah satu dari 9 dusun di Negeri Pelauw.

III. Relasi dan Konflik Pelauw – Kariu

Sebagai dua Negeri yang bertetangga, Pelauw dan Kariu, juga menghadapi pasang-surut hubungan sosial yang di antaranya berujung pada konflik. Di tahun 1999 saat konflik besar berlatar belakang SARA melanda kepulauan Maluku, kedua negeri ini pun turut terkena imbas.

Akibat konflik, semua warga Kariu harus eksodus atau mengungsi. Ini belum terhitung korban harta, luka-luka, hingga tewas dari masing-masing pihak yang bertikai. Hal serupa juga terjadi pada sejumlah negeri bertetangga yang berbeda agama di Maluku.

Setelah konflik usai, ditandai dengan perjanjian Malino II, sejumlah warga yang eksodus dan mengungsi saat konflik dipulangkan atau kembali ke negeri asalnya. Meski ada beberapa negeri yang sampai hari ini belum kembali ke tempat asalnya.

Untuk kasus Kariu, dalam negosiasi dan komunikasi yang cukup alot saat itu, dengan mempertimbangkan semangat kemanusiaan dan persaudaraan, masyarakat Pelauw akhirnya dengan tangan terbuka turut menyepakati atau menyetujui masyarakat Negeri Kariu untuk kembali mendiami negeri yang sempat mereka tinggalkan saat konflik.

Sehingga pada tahun 2006 masyarakat Kariu resmi kembali setelah rumah dan tempat ibadahnya dibangun oleh pemerintah. Situasi dan kondisi pun kembali atau pulih, seperti sebelum terjadinya konflik. Hubungan masyarakat terjalin harmonis, interaksi sosial yang simbiosis mutualisme kembali terbangun.

Masyarakat Pelauw dalam memenuhi kebutuhan hariannya, seperti hasil kebun, ternak dan hasil laut kerap membelinya dari warga Kariu. Sebaliknya warga Kariu dalam memenuhi kebutuhan hariannya juga membelinya dari warga Pelauw.

Tidak hanya berhenti pada relasi ekonomi, tapi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Seperti pembangunan rumah dan tempat ibadah maupun kegiatan-kegiatan sosial masyarakat lainnya kedua negeri saling bantu-membantu, bahu-membahu.

Praktis sejak warga Negeri Kariu kembali ke Pulau Haruku tahun 2006 hingga tahun 2020, tidak ada gesekan atau konflik yang berarti. Kedua negeri bertetangga hidup rukun dan harmonis dalam bingkai persaudaraan orang Maluku.

Namun, hubungan yang harmonis itu mulai retak, ditandai dengan adanya pengrusakan situs adat masyarakat Pelauw yang terletak di Ua Rual sisi timur dusun Ory. Pengrusakan itu diketahui dilakukan oleh warga Kariu, sejumlah dokumentasi jelas memperlihatkan aktivitas pengrusakan itu.

Tidak hanya pengrusakan situs adat, tanah di wilayah Ua Rual itu pun diklaim sebagai milik warga Kariu. Padahal dalam berbagai referensi maupun tutur sejarah, Kariu tidak memiliki tanah dan hak ulayat di Pulau Haruku.

Situs adat yang dibongkar pun, adalah tempat peninggalan sejarah di mana para leluhur masyarakat Negeri Pelauw dulu bermukim. Tempat di mana setiap perayaan ritual adat Maโ€™atenu Pakapita atau Cakalele diselenggarakan, situs Ua Ruwal adalah tempat atau kawasan yang wajib dikunjungi atau di ziarahi.

Tidak berhenti sampai disitu, dalam sejumlah keterangan yang beredar ada warga Kariu yang mengatakan bahwa masyarakat Pelauw adalah penyembah berhala sehingga menjadi pembenar mereka merusak situs adat yang ada di kawasan Ua ruwal tersebut.

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ CATATAN REDAKSI: ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita dan atau konten video tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi dan/atau hak jawab kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.๐Ÿ‘ Artikel/berita yang dimaksud dapat dikirimkan melalui email redaksi: xposetv0@gmail.com. Terima kasih.๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘

Pos terkait