XPOSE TV//Bogor, Jawa Barat – Tsunami balik nama, bayang-bayang gelombang besar pengalihan kepemilikan tanah negara kini menghantui wilayah selatan Kabupaten Bogor. Ketua Presidium Forum Bogor Institut, A. Hidayat, S.T., memperingatkan keras potensi terjadinya “Tsunami Balik Nama Sertifikat” pada tahun 2026 mendatang, menyusul berakhirnya masa tenggang kepemilikan lahan hasil redistribusi eks HGU PT. Redjo Sari Bumi di Kecamatan Caringin. Selasa (4/11/2025).
Sebanyak 2.775 sertifikat tanah hasil program redistribusi agraria yang dibagikan pemerintah tahun 2016 kepada 1.378 kepala keluarga petani penggarap di empat desa, Pancawati, Cimande, Bojong Murni, dan Cibedug, kini berada di ambang kehilangan kendali. Sertifikat yang seharusnya menjadi bukti legal hak milik rakyat, diduga kuat telah berpindah tangan secara tidak sah kepada oknum pengusaha pariwisata dan pemilik modal besar.
“Saya sudah lebih dari empat tahun menyelidiki kasus ini. Tanah yang seharusnya menjadi ladang ketahanan pangan nasional kini beralih fungsi jadi hotel, villa, resort, hingga kafe mewah di kaki Gunung Gede Pangrango,” ujar Hidayat tegas kepada XPOSE TV, Selasa (4/11).
Menurutnya, tanah-tanah tersebut merupakan hasil program redistribusi konversi lahan eks perpanjangan HGU PT. Redjo Sari Bumi yang diserahkan langsung oleh Menteri ATR/BPN saat itu, Ferry Mursidan Baldan, pada 30 Mei 2016. Program tersebut merupakan bagian dari reformasi agraria nasional yang memberikan kepastian hukum dan keadilan agraria kepada para petani penggarap.
Namun kenyataannya, sembilan tahun berlalu, sebagian besar petani mengaku tidak lagi memegang sertifikat hak milik (SHM) mereka. Bahkan banyak di antara mereka yang belum pernah melihat fisik sertifikat tersebut, karena diduga masih dikuasai aparat desa dan oknum pihak lain.
—
Dari Lahan Pangan Jadi Bisnis Wisata
Berdasarkan temuan lapangan, di atas lahan-lahan yang dulu dijanjikan untuk ketahanan pangan kini berdiri megah resort, hotel, dan tempat wisata tanpa izin resmi. Ironisnya, semua bangunan tersebut berdiri di atas tanah dengan alas hak redistribusi yang tidak boleh diperjualbelikan selama 10 tahun sejak diterbitkannya sertifikat.
> “Larangan itu tertulis jelas di lembar sertifikat: tanah hasil redistribusi tidak boleh dijual sebagian maupun seluruhnya sebelum 10 tahun. Tapi anehnya, para pengusaha berani membangun tanpa izin. Ini jelas permainan mafia tanah yang terstruktur,” tegas Hidayat.
Lebih parah lagi, menurutnya, banyak pengusaha yang diduga membeli tanah itu dengan modus ‘jual paksa’ kepada petani. Mereka mengiming-imingi uang kerohiman atau bahkan menggunakan tekanan sosial agar petani menyerahkan lahannya.
> “Mereka membodohi rakyat. Padahal tanah itu milik negara yang diberikan untuk rakyat. Ini bukan hanya soal kepemilikan, tapi penghianatan terhadap amanah negara,” tambahnya.
—
Negara Dirugikan Ratusan Miliar Rupiah, Hidayat menilai praktik ini telah merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Jika dikonversi ke harga pasar tanah di kawasan wisata Caringin–Ciawi saat ini, nilai lahan yang dijual secara ilegal bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
“Negara harus segera turun tangan! Satgas mafia tanah mesti dikerahkan ke Caringin untuk menyelamatkan aset negara. Jangan tunggu 2026, karena kalau terlambat, akan ada tsunami balik nama sertifikat besar-besaran di BPN Bogor,” seru Hidayat.
Ia mendesak Kementerian ATR/BPN, Kejaksaan Agung, bahkan Presiden Prabowo Subianto, untuk menindak tegas para mafia tanah dan aparat yang terlibat.
Potensi “Tsunami Balik Nama” Tahun 2026, Ancaman besar kini berada di depan mata. Berdasarkan aturan redistribusi, tanah yang dibagikan tahun 2016 dapat beralih nama setelah masa tenggang 10 tahun, yakni pada Mei 2026. Artinya, dalam hitungan bulan, ribuan sertifikat itu berpotensi berpindah tangan secara sah kepada orang-orang kaya yang kini sudah menguasai lahan secara de facto.
“Kalau negara diam, maka pada tahun depan akan terjadi tsunami balik nama besar-besaran. Dari nama-nama petani penggarap akan berubah jadi nama-nama pengusaha tajir. Ini bencana agraria nasional!” tegas Hidayat dengan nada geram.
Empat Desa, Satu Luka Agraria, Empat desa yang menjadi pusat persoalan ini yakni:
1. Desa Pancawati
2. Desa Cimande
3. Desa Bojong Murni
4. Desa Cibedug
Luas total lahan eks HGU PT. Redjo Sari Bumi mencapai 255,07 hektar, dengan 234,4 hektar di antaranya merupakan lahan masyarakat penggarap, 5,69 hektar milik Pemkab Bogor, dan 4,27 hektar tanah kas daerah.
Kini, sebagian besar dari lahan itu telah berubah wajah menjadi kompleks wisata komersial, menggusur identitas pertanian yang dahulu menjadi denyut nadi ekonomi rakyat.
Harapan Terakhir untuk Keadilan Agraria, Hidayat menegaskan bahwa pihaknya akan membawa kasus ini ke tingkat nasional. Ia berjanji melaporkan secara resmi kepada Kementerian ATR/BPN, Kejaksaan Agung RI, serta Presiden Prabowo Subianto, dalam waktu dekat.
“Kalau tidak segera diusut, ini bukan sekadar kehilangan tanah, tapi kehilangan keadilan rakyat. Negara harus buktikan keberpihakannya terhadap petani kecil, bukan pada pemilik modal,” pungkas Hidayat menutup wawancara.
Kasus dugaan perampasan tanah redistribusi eks HGU PT. Redjo Sari Bumi ini menjadi cermin buram wajah agraria Indonesia. Ketika sertifikat rakyat bisa berpindah tangan ke pengusaha dengan mudah, maka cita-cita reformasi agraria yang diusung negara berubah jadi ilusi.
Dan jika pemerintah tak segera bertindak, maka tahun 2026 akan menjadi saksi “tsunami agraria” terbesar di Bogor ketika tanah rakyat lenyap di bawah kaki para pemodal yang menikmati “surga dunia” di atas penderitaan petani.
Red: H.A
Narsum: A. Hidayat, S.T., Ketua Presidium Forum Bogor Institut





































