![]()
Gorontalo, XposeTV — Dugaan malpraktik medis di RS Multazam kini berubah menjadi skandal terbuka yang menyeret bukan hanya satu dokter, tetapi juga menguji integritas DPRD Kota Gorontalo sebagai lembaga pengawas. Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar justru dinilai sebagai kamuflase demokratis—forum formal yang gagal menyentuh inti pelanggaran dan cenderung melindungi praktik kelalaian medis.
Koordinator Lapangan, Kevin Lapendos, menyebut RDP tersebut sebagai ritual birokratis tanpa nyali, yang secara tidak langsung memberi ruang aman bagi dokter terduga pelaku operasi caesar yang diduga dilakukan tanpa persetujuan pasien (informed consent).
“Ini bukan sekadar kelalaian teknis. Ini dugaan pelanggaran serius terhadap hak pasien. Tapi anehnya, dokter yang melakukan operasi justru tidak disentuh secara tegas. Seolah ada upaya normalisasi pelanggaran,” tegas Kevin.
Kevin secara terbuka menyoroti dokter yang melakukan tindakan operasi tersebut, yang menurutnya harus bertanggung jawab penuh secara etik dan profesional. Ia menilai perubahan metode operasi tanpa persetujuan pasien bukan kesalahan kecil, melainkan bentuk penyalahgunaan kewenangan medis yang berpotensi membahayakan nyawa dan merampas hak pasien untuk menentukan tindakan atas tubuhnya sendiri.
“Seorang dokter bukan penguasa atas tubuh pasien. Ketika keputusan medis diambil sepihak tanpa persetujuan, itu bukan lagi pelayanan, tapi pelanggaran,” kecamnya.
Lebih keras lagi, Kevin menilai sikap DPRD yang tidak menghasilkan rekomendasi tegas dalam RDP sebagai bentuk pembiaran terstruktur. Menurutnya, DPRD telah gagal menjalankan fungsi pengawasan dan justru tampil sebagai penyeimbang kepentingan institusi, bukan pembela korban.
“Kalau DPRD hanya memfasilitasi klarifikasi tanpa keberanian mengambil sikap, maka publik patut menduga ada perlindungan terhadap pelaku. Ini bukan pengawasan, ini penghindaran tanggung jawab,” ujarnya tajam.
Sebagai respons, Kevin memastikan akan menyurat resmi ke DPRD Kota Gorontalo untuk mendesak digelarnya rapat komisi gabungan. Ia menegaskan, rapat tersebut harus berujung pada rekomendasi konkret, termasuk pemeriksaan etik dokter yang melakukan operasi, evaluasi manajemen RS Multazam, serta dorongan proses hukum jika ditemukan unsur pidana.
“Jika rapat komisi gabungan kembali gagal, maka DPRD secara sadar sedang membangun tembok impunitas. Dan ketika negara abai, rakyat wajib turun tangan,” katanya.
Kevin juga menegaskan bahwa aksi jilid lanjutan tidak lagi sekadar tuntutan moral, melainkan tekanan politik terbuka terhadap DPRD, Dinas Kesehatan, IDI, dan MKEK agar tidak bermain aman di atas penderitaan korban.
“Kasus ini akan kami buka seterang-terangnya. Dokter yang melakukan operasi tidak boleh berlindung di balik jas putih, dan DPRD tidak boleh bersembunyi di balik meja rapat,” pungkasnya.
Kasus RS Multazam, menurut Kevin, adalah potret telanjang bagaimana profesi medis bisa kehilangan etika ketika pengawasan dilemahkan, dan bagaimana lembaga perwakilan rakyat bisa kehilangan wibawa ketika lebih memilih aman daripada adil.
Hingga berita ini diterbitkan, dokter yang melakukan operasi maupun DPRD Kota Gorontalo belum memberikan pernyataan resmi menanggapi tudingan keras tersebut. (Tim/Red)







































Website penipu Indonesia, website penipu anak kampang