XPOSE TV//Mataram, NTB – Pertumbuhan ekonomi NTB negatif, beberapa waktu terakhir, publik NTB dihebohkan oleh laporan resmi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pertumbuhan ekonomi Nusa Tenggara Barat pada angka minus 0,82 persen, atau menjadi provinsi dengan peringkat kedua terendah di Indonesia. Di sisi lain, Provinsi Maluku Utara justru mencatatkan angka fantastis — tumbuh hingga 32 persen, tertinggi secara nasional. Jumat (24/10/2025).
Meski BPS mencatat pertumbuhan ekonomi NTB minus 0,82 persen, sejumlah pengamat menilai kondisi ini justru membuka ruang refleksi penting: kesejahteraan masyarakat tidak semata diukur dari besarnya angka pertumbuhan, melainkan dari seberapa merata hasil pembangunan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat
Kabar ini segera memicu perbincangan luas, bahkan perbandingan kinerja antar-gubernur pun ramai diperbincangkan di ruang publik dan media sosial. Namun, di balik angka yang tampak mencolok ini, masih banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya: apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi otomatis berarti kesejahteraan masyarakat juga meningkat?

Antara Angka dan Makna Pertumbuhan Ekonomi
Dalam penjelasan ekonom lokal NTB yang coba memberikan perspektif berbeda, angka pertumbuhan ekonomi sebenarnya menggambarkan seberapa besar ukuran “kue pembangunan” atau “kue ekonomi” suatu wilayah membesar atau mengecil dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan analogi sederhana, pertumbuhan ekonomi 32 persen di Maluku Utara berarti kue pembangunan mereka membesar 32 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara di NTB, angka negatif 0,82 persen menunjukkan bahwa kue pembangunan justru sedikit menyusut.
Namun, besarnya kue pembangunan tidak serta-merta berarti semua warga daerah tersebut bisa menikmati rasanya secara merata.
“Tidak ada gunanya kue pembangunan membesar 32 persen kalau 31 persennya hanya dinikmati satu atau dua perusahaan saja,” ujar seorang pengamat ekonomi NTB. “Kalau itu yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi tersebut disebut tidak berkualitas, karena manfaatnya tidak dirasakan secara luas oleh masyarakat.”
Pertumbuhan yang Berkualitas, Bukan Sekadar Angka
Dalam konteks NTB, kondisi minus 0,82 persen bukan berarti daerah ini gagal total. Justru, menurut pandangan kritis sebagian kalangan, angka tersebut menjadi refleksi bahwa sektor ekonomi NTB masih terlalu bergantung pada industri besar seperti pertambangan.
Ketika aktivitas ekspor PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) menurun akibat regulasi pusat, otomatis angka pertumbuhan ekonomi ikut anjlok. Padahal, kehidupan masyarakat kecil di berbagai sektor—UMKM, pertanian, perikanan, dan pariwisata—tidak selalu ikut menurun drastis seperti angka makro tersebut.
“Yang tidak boleh terjadi,” lanjut sang pengamat, “adalah ketika kue pembangunan kita sudah kecil, tapi yang menikmati masih juga segelintir orang. Ini lebih berbahaya daripada angka pertumbuhan ekonomi yang rendah.”
Filosofi Kue Ekonomi NTB: Kecil Tapi Berkah
Bayangkan jika Pemerintah Daerah NTB bisa menyampaikan pesan seperti ini kepada warganya:
“Bapak, Ibu, semeton semua, kue pembangunan kita memang kecil tahun ini, bahkan nomor dua terkecil di Indonesia. Tapi tidak apa-apa. Mari kita nikmati bersama-sama, dibagi rata, agar semua ikut merasakan berkahnya.”
Kalimat sederhana namun penuh makna ini mencerminkan harapan agar pertumbuhan ekonomi NTB ke depan bukan hanya besar dalam angka, tetapi juga adil dalam distribusi. Karena pada akhirnya, kesejahteraan tidak diukur dari seberapa besar pertumbuhan, melainkan seberapa merata hasil pembangunan itu dibagi.
Jalan Panjang Menuju Pertumbuhan yang Inklusif
Pemerataan ekonomi tidak terjadi dalam semalam. Solusinya terletak pada proses panjang menuju industrialisasi dan hilirisasi.
Peningkatan nilai tambah terhadap sumber daya lokal menjadi kunci agar ekonomi NTB tidak hanya bergantung pada ekspor bahan mentah atau fluktuasi pasar global.
“Kalau mau pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkualitas, satu-satunya jalan adalah industrialisasi,” jelas sang narasumber. “Tapi proses ini panjang, memerlukan kesabaran, investasi besar, dan kesiapan SDM lokal.”
Pelajaran dari Perdebatan Ekonomi
Perdebatan publik yang muncul karena perbandingan angka pertumbuhan antarprovinsi sesungguhnya menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap isu ekonomi. Namun, sebagaimana diingatkan dalam refleksi penutup sang penulis,
“Di negara berkembang, kegaduhan sering terjadi karena kita terlalu berdebat tentang hal yang sebenarnya belum kita pahami sepenuhnya.”
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak pemerintah, akademisi, media, hingga masyarakat untuk memahami makna pertumbuhan ekonomi dengan lebih bijak dan kontekstual.
Penutup: Antara Realita dan Harapan
Pertumbuhan ekonomi negatif bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini bisa menjadi cermin untuk introspeksi dan peluang untuk memperbaiki arah pembangunan.
NTB mungkin belum tumbuh dalam angka, tetapi bisa tumbuh dalam nilai: nilai pemerataan, nilai gotong royong, dan nilai keberkahan.
Kesejahteraan sejati bukan sekadar membesarkan kue ekonomi, melainkan memastikan bahwa setiap potongan kue itu bisa dinikmati bersama.
Red: H A





































