Makassar – Ketua Umum Lembaga Kajian dan Advokasi HAM Indonesia (LHI), Arham MSi La Palellung menanggapi pertanyaan jurnalis televisi terkait insiden kebocoran pipa milik PT Vale yang mencemari Sungai Towuti.
Perusahaan boleh saja bicara pemulihan, uji laboratorium, bahkan klaim teknologi modern. Tapi itu hanya menjawab efek, bukan penyebab. Hingga hari ke-19, publik belum diberi kejelasan, mengapa pipa bisa bocor, apa faktor teknisnya, berapa volume minyak yang keluar, dan siapa yang lalai.

Kita tidak boleh dibuai jargon pemulihan berkelanjutan tanpa ada transparansi data. Selama root cause analysis tidak dipublikasikan, selama tidak ada audit independen terhadap sistem integritas pipa, maka potensi kebocoran serupa tetap bisa berulang.
Bersih-bersih sungai dan uji kualitas air memang penting, tapi itu hanya penanganan gejala. Hak warga atas data, kompensasi adil, dan jaminan agar bencana tidak terulang jauh lebih utama.
Kekhawatiran lain adalah jika terjadi framing media. Banyak pemberitaan menonjolkan sisi positif Vale, tanpa menggali apa yang masih ditutup, hasil investigasi, standar keamanan, dan akuntabilitas hukum. Itu berbahaya, karena bisa mematikan kontrol publik.
Sebagai aktivis HAM, kami tegaskan, transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban hukum. Nyawa warga, kesehatan, dan sumber hidup masyarakat Towuti tidak boleh ditukar dengan pencitraan korporasi,” tegas Arham, Kamis (11/9/2025) di Kota Makassar.
LHI Desak Transparansi atas Kasus Kebocoran Pipa PT Vale
LHI menyatakan keprihatinan mendalam atas insiden kebocoran pipa PT Vale yang berdampak langsung pada Sungai Towuti dan masyarakat sekitar. Hingga hari ke-19, publik masih belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan mendasar:
1. Kenapa pipa bisa bocor?
Publik perlu tahu apakah kebocoran akibat kelalaian pemeliharaan (maintenance failure), faktor usia pipa (aging infrastructure), cacat desain, atau faktor teknis lain.
2. Berapa volume minyak yang tumpah?
Data kuantitatif ini krusial untuk menghitung dampak pencemaran, kerusakan ekosistem, dan kewajiban kompensasi bagi warga terdampak.
3. Siapa yang bertanggung jawab?
Jika terbukti ada kelalaian pengawasan atau standar keamanan yang tidak memadai, harus ada pihak yang bertanggung jawab secara hukum dan administratif.
LHI mengapresiasi langkah pemulihan yang diklaim perusahaan, seperti pembersihan sungai dan uji kualitas air. Namun, hal tersebut hanya menjawab gejala, bukan akar masalah. Tanpa transparansi investigasi dan audit independen, pemulihan hanyalah pencitraan sesaat.
Komunikasi ke Tingkat Pusat
Sebagai lembaga yang konsisten mengawal isu lingkungan dan HAM, LHI saat ini juga berkomunikasi dengan sejumlah penggiat lingkungan di tingkat nasional untuk mendorong:
•Investigasi independen oleh lembaga negara dan akademisi.
•Transparansi data mengenai penyebab teknis, volume tumpahan, serta langkah mitigasi.
•Penegakan hukum bila terbukti ada kelalaian atau pelanggaran standar operasional.
LHI menegaskan bahwa hak warga untuk memperoleh informasi yang benar dan lengkap adalah bagian dari hak asasi manusia. Perusahaan tidak boleh menutup data teknis yang menyangkut keselamatan publik dan kelestarian lingkungan.
“Kami akan terus mengawal kasus ini secara kritis, konstruktif, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan hidup,” tutup Arham.*
*Catatan Penting:
Pernyataan ini disampaikan dalam konteks kepedulian terhadap lingkungan dan hak masyarakat atas informasi, tanpa bermaksud merugikan pihak manapun, kecuali demi kepentingan publik.





































