“Apa pun keadaannya, sudah menjadi semacam diktum bahwa yang menginginkan perubahan adalah mereka yang memungkinkan politik itu dihela lebih cepat ke depan. Sedangkan yang tidak menginginkan perubahan tentu menganggap ya sudah di sini saja,” paparnya.
Rocky prihatin pada para fotografer yang selalu menunggu momentum, namun terganggu adanya baliho Prabowo. Momentum akhir tahun yang mereka harapkan bisa mendapat pelanggan lebih banyak, akan tetapi rezeki mereka seret gara-gara ada foto Gibran.
Ironis kata Rocky bahwa banyak orang malas berfoto di WTB (Welcome to Batam) karena di situ ada fotonya Gibran. Padahal, selama ini Gibran diharapkan bisa menggaet pemilih muda yang jumlahnya sangat besar, di atas 50 persen. Jumlah ini menjadi pasar perebutan yang besar.
Jadi, pada pemilu kali bukan lagi pemilih warga di pedesaan yang diperebutkan, tapi justru pemilih muda. Tetapi, sepertinya Gibran tidak bisa masuk lagi di situ.
โKelihatannya sudah final, pemilih muda yang terdidik pasti lebih mendengar ketua BEM UI, ketua BEM UGM, atau ketua BEM UNS daripada mendengar kampanye yang ada kehadiran Gibran.
Karena, akhirnya anak-anak muda ini tahu bahwa Gibran itu hanya ditempelkan. Bukan karena idenya ada, tapi karena keinginan Jokowi untuk menjamin kelangsungan rezimnya,โ ujar Rocky.