![]()
xposetv.live//POHUWATO – Dugaan praktik bisnis ilegal LPG 3 kilogram bersubsidi di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, kian menuai sorotan. Seorang oknum aparat desa berinisial MA diduga aktif mengendalikan suplai dan penjualan LPG subsidi dengan harga mencapai Rp50 ribu hingga Rp80 ribu per tabung. Namun yang tak kalah menyita perhatian publik adalah pengakuan Kepala Desa Marisa Utara yang mengklaim tidak mengetahui aktivitas tersebut.
Informasi yang dihimpun awak media pada Minggu (21/12/2025) menyebutkan, MA diduga membeli, menimbun, dan menyalurkan LPG 3 kg dari sejumlah pangkalan resmi, baik di wilayah Pohuwato maupun luar daerah. Distribusi dilakukan secara tidak resmi dengan memanfaatkan kendaraan pribadi Honda Brio berwarna kuning, seolah praktik itu berlangsung tanpa pengawasan struktural di tingkat desa.
Kondisi ini memantik pertanyaan serius: bagaimana mungkin aktivitas ilegal yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat dapat berlangsung, sementara pimpinan pemerintahan desa mengaku tidak mengetahui apa pun? Padahal LPG 3 kg merupakan komoditas bersubsidi yang distribusinya diawasi ketat oleh negara.
Harga jual yang melambung jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp18.000–Rp22.000 per tabung dinilai sebagai bentuk perampasan hak ekonomi masyarakat kecil, sekaligus indikator lemahnya pengawasan internal pemerintahan desa.
Secara hukum, dugaan penyalahgunaan LPG subsidi berpotensi melanggar Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dengan ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp60 miliar. Ketentuan ini dipertegas melalui Perpres Nomor 104 Tahun 2007 dan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2009.
Namun persoalan ini tidak berhenti pada dugaan perbuatan aparat desa semata. Tanggung jawab Kepala Desa sebagai pimpinan pemerintahan desa juga menjadi sorotan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan dalam Pasal 26 ayat (4) bahwa kepala desa berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa. Pengakuan “tidak tahu” atas dugaan aktivitas ilegal aparatnya dinilai publik sebagai indikasi kelalaian serius dalam fungsi pengawasan.
Lebih jauh, Pasal 29 UU Desa melarang kepala desa melakukan pembiaran terhadap perbuatan yang merugikan kepentingan masyarakat. Jika terbukti ada unsur pembiaran atau pengabaian pengawasan, maka sikap pasif pimpinan desa dapat berimplikasi pada sanksi administratif hingga pemberhentian, di samping proses hukum terhadap pelaku utama.
Kasus ini mencerminkan rapuhnya sistem pengawasan pemerintahan desa, di mana dugaan praktik ilegal bisa berlangsung tanpa kontrol efektif dari pimpinan. Situasi ini memperkuat dugaan adanya pembiaran struktural yang membuka ruang bagi aparat desa menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Saat dikonfirmasi awak media, Kepala Desa Marisa Utara, Ilham Langago, hanya memberikan jawaban singkat melalui pesan WhatsApp.
“Saya belum dapat info soal ini, Pak,” ujarnya.
Pernyataan tersebut justru menambah daftar pertanyaan publik tentang sejauh mana fungsi kepemimpinan dan pengawasan dijalankan di Desa Marisa Utara.
Masyarakat mendesak aparat penegak hukum, pemerintah daerah, serta inspektorat untuk tidak hanya mengusut dugaan perbuatan oknum aparat desa, tetapi juga mengevaluasi peran dan tanggung jawab kepala desa dalam memastikan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat.
Hingga berita ini diterbitkan, awak media masih terus menelusuri dan mendalami informasi tersebut. Pihak-pihak yang disebutkan dalam pemberitaan ini belum memberikan klarifikasi resmi lanjutan.





































